Adab Pendidik dalam Islam

 

    Perkataan adab diambil dari pada bahasa arab “addaba" yang bermaksud mengajarkan adab. Merujuk kepada kamus Dewan,  adab bermaksud bertingkah laku sopan, berbudi bahasa, budi pekerti yang halus dan mulia. Jelasnya, adab membawa maksud segala tingkah laku atau perlakuan yang sopan, baik dan mulia. Dalam konteks ini, Rasulullah SAW sendiri menegaskan bahwa baginda telah mendapat didikan akhlak dari pada Allah SWT. Sesungguhnya adab-adab yang diajar dan ditunjukan oleh Rasulullah SAW berteraskan akhlaq Islam. Dari pada kata dasar addaba ini, maka terbentuk pula istilah ta’dib yang terdiri dari sudut terminology bermaksud mendidik adab, dimana apabila seseorang individu yang terdidik akan mampu memperkembangkan potensinya ke arah pembentukan sikap, pribadi atau sahsiah yang diridhai Allah SWT. Menurut Wan Aminurrashid istilah adab mempunyai kesamaan dengan etiket. Etiket bermaksud ilmu yang mengajar perlakuan baik dan buruk berdasarkan kepada al-quran dan hadis.

         Adab dalam islam merupakan perilaku yang dilakukan secara disedari, yakni berteraskan ajaran al-quran dan hadis Rasulullah SAW. Dengan kata lain, adab dalam islam bukanlah sesuatu yang dicipta atau diada-adakan oleh manusia menurut kehendak atau kemahuan nafsu. Daripada sekecil-kecil adab hinggalah sebesar-besar adab itu, ia diajar oleh al-quran dan hadis. Contohnya, ketika makan terdapat adab-adab tertentu seperti dimulai dengan memabaca bismillah membaaca doa makan, menggunakan tangan kanan, berhenti makan sebelum kenyang, mengambil makanan yang paling hamper dan sebagainya. Begitu juga ketika masuk tandas, antara adab yang  diajar ialah melangkah masuk dengan kaki kiri, membaca doa, tidak bercakap-cakap dalam tandas dan lain-lain lagi. Begitu juga adab ketika berjual-beli, adab antara suami istri, anak dengan ibu bapak, adab terhadap guru dan pemimpin, adab terhadap alam sekitar dan sebagainya telah digariskan oleh islam.

         Menurut Abdul as-Salim Makram (1999), adab dalam islam bersumber wahyu ilahi yang memberikan bimbingan kepada umat islam agar kearah kepatuhan yang benar. Namun perlu dipahami bahwa bukan semua adab-adab yang ditentukan oleh al-quran dan hadis bersifat wajib atau mesti dilakukan oleh umat islam.[1]Menurut Imam Ghozali adab pendidik diantaranya, pertama, belas kasih kepada murid dan memperlakukannya sebaga anak. Bahkan ia adalah bapak yang sebenarnya, karena bapak adalah sebab kehidupan fana, sementara pengajar adalah sebab kehidupan abadi. Karena itu, haknya didahulukan atas hak keda orang tua. Adapun pengajaran untuk tujuan dunia, itu adalah sumber kebinasaan. Jika demikian, maka hendaklah murid-murid orang itu saling mencintai, karena para ulama dan pecinta akhirat mengembara menuju Allah SWT dan melewati jalan kepada-Nya. Dunia beserta ketinggian dan kemasyuran-Nya adalah sebagai jalan tersebut. Persahabatan di antara para pengembara dari suatu negeri ke negeri lain menyebabkan saling mencintai. Apalagi perjalanan menuju Allah dan firdaus tertinggi yang tiada kesempitan di dalamnya. Maka hindarilah persaingan karena firman-Nya, sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara (QS. Al-Hujurat(49): 10).

Kedua mengikuti teladan Rasulullah Saw,yaaitu tidak meminta upah. Rasulullah Saw. Bersada, “ janganlah meminta upah atas pengajaran.” Allah swt berfirman, …kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih (QS. Al-inssan (76):9) Seorang guru walaupun mempunyai jasa terhadap para murid, namun mereka juga mempunyai jasa terhadapnya, karena keberadaan mereka sebagai sebab yang mendekatkan dirinya kepada Allah Swt. Dengan menanamkan ilmu dan keimanan ke dalam hati mereka.  Ketiga, tidak meninggalkan nasihat, seperti melarang anak didiknya meloncat pada tingkatan seelum berhak menerimanya dan mendalami ilmu tersembunyi sebelum menguasai hukum-hukum yang jelas. Keempat, menasehati murid dan mencegahnya dari akhlak tercela, tidak secara terang-terangan, tetapi dengan cara menyindir. Peneguran secara terang-terangan dapat menjatuhkan wibawanya. Hendaklah berlaku lurus (istiqamah). Jika tidak, maka nasihat itu tidak bermanfaat, karena mengikuti perbuatan lebih berkesan daripada mengikuti perkataan.[2]

Menurut Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, tetang adab guru tatkala bersama murid-muridnya ada 14 poin. Pada bagian yang pertama ini, kami akan ulaskan 7 poin pertama. Berikut ulasannya:

1.    Tujuan Mengajar adalah Mendapatkan Ridlo Allah

Hendaknya seorang guru mengajar dan mendidik murid dengan tujuan mendapatkan ridlo Allah ta`ala, menyebarkan ilmu, menghidupkan syariat islam, melanggengkan munculnya kebenaran dan terpendamnya kebatilan, mengharap lestarinya kebaikan bagi umat dengan memperbanyak ulama, dan meraih pahala. Ia akan memperoleh pahala dari orang yang ilmunya akan berpangkal kepadanya. Selain itu, juga berharap keberkahan dari doa dan kasih sayang mereka, menginginkan agar tergolong dalam mata rantai para pembawa ilmu dari Rasulullah SAW dan termasuk golongan para penyampai wahyu Allah ta`ala dan hukum-hukum-Nya kepada makhluk-Nya. Sedemikian itu karena mengajarkan ilmu merupakan salah satu urusan terpenting dalam agama dan merupakan kedudukan tertinggi bagi orang mukmin. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah ta`ala, malaikat, penghuni langit dan bumi, bahkan semut di liangnya pada bershalawat untuk para pengajar kebaikan kepada umat manusia. Sungguh, ini adalah ganjaran yang besar dan memperolehnya merupakan keuntungan yang tak terhingga. Ya Allah, jangan Engkau halangi kami dari ilmu dengan penghalang apapun dan jangan Engkau cegah kami darinya dengan segala pencegah. Kami berlindung kepada-Mu dari pelbagai pemutus ilmu, pengeruh, penyebab terhalang dan terhindarkan darinya”.

2.    Sabar Terhadap Murid yang Niatnya Tidak Lurus

Seorang guru juga hendaknya menghindari sikap tidak mau mengajar murid yang tidak tulus niatnya, karena sesungguhnya ketulusan niat masih ada harapan terwujud sebab berkah dari ilmu itu sendiri. Sebagian ulama salaf berkata, “Aku mencari ilmu bukan karena Allah. Namun, ilmu itu akhirnya menolak didekati jika tidak diniatkan untuk Allah.” Artinya, pada akhirnya ilmu itu yang akan membimbingnya kepada Allah. Apabila niat yang tulus diharuskan dalam mengajar para pemula yang kebanyakan dari mereka kesulitan dalam menata niat, maka akan berdampak pada terputusnya kesempatan banyak orang untuk memperoleh ilmu. Meskipun demikian, seorang guru secara bertahap memotivasi murid pemula agar memiliki tujuan belajar yang luhur, baik dalam bentuk kata-kata maupun perbuatan nyata. Dan mengingatkan mereka bahwa dengan berkah ilmu akan dicapai derajat yang tinggi dalam hal ilmu dan amal, juga kedalaman berpikir yang melimpah, hikmah yang beraneka ragam, hati yang bersih lagi lapang, kemampuan mengenali yang benar, tingkah yang baik, perkataan yang jujur, dan pangkat yang luhur pada hari kiamat.

3.    Mendekatkan Murid pada Hal-hal Terpuji

Guru harus mendekatkan murid dengan sesuatu yang menurut guru terpuji, seperti anjuran hadis, dan menjauhkan murid dari apa yang menurut guru tercela. Guru juga harus memperhatikan kemaslahatan murid, memperlakukannya dengan cara guru memperlakukan anak kesayangannya, yakni dengan penuh kasih sayang dan kelembutan, berlaku baik kepadanya, bersabar atas kekasaran dan segala kekurangannya kerena pada suatu waktu manusia tidak lepas dari kekurangan dan ketidaksopanan. Guru juga berusaha menerima dengan lapang dada alasan-alasan murid yang dipandang masih mungkin dapat ditolerir, disertai upaya untuk meredam perilaku kasarnya dengan nasehat dan kelembutan bukan dengan cara yang keras dan kasar. Dalam tindakannya itu, guru bertujuan untuk mendidik murid dengan baik, mempercantik akhlaknya, dan memperbaiki tingkah lakunya.

Bila murid memiliki kecerdasan untuk memahami isyarat, maka teguran tidak perlu diekspresikan dengan kalimat yang tegas. Tapi bila murid hanya bisa mengerti teguran dengan bahasa yang lugas, maka guru boleh menggunakannya. Tapi, dalam hal ini, guru juga harus memperhatikan pentingnya metode penahapan dan kelembutan. Guru harus mendidik murid dengan etika yang baik, mendorongnya untuk berperangai dengan akhlak yang diridloi, menghimbaunya agar melakukan kebajikan, dan senantiasa berada dalam koridor-koridor syariat.

4.    Menggunakan Bahasa yang Mudah Dipahami Saat Mengajar

Ketika mengajar guru hendaknya mempermudah murid dengan bahasa penyampaian yang mudah dicerna dan bahasa tutur yang baik. Terlebih lagi jika murid memang layak diperlakukan seperti itu. Demikian itu tidak lain demi terbentuknya etika murid yang baik, proses pencarian ilmu yang efektif, mendorong antusiasme mereka dalam belajar tentang informasi-informasi yang berguna dan mengingat hal-hal yang unik dan langka. Guru jangan sampai menyembunyikan ilmu yang kebetulan ditanyakan oleh murid, padahal ia menguasai ilmu tersebut, sebab bisa jadi hal itu menimbulkan perasaan tidak enak di dada, membuat hati muak, dan mendatangkan kegelisahan. Begitu pula guru sebaiknya tidak sekali-kali menyampaikan sesuatu hal yang belum ia kuasai dengan baik, sebab itu hanya akan membekukan pikiran dan membuyarkan pemahaman murid. Jika murid menanyakan suatu materi yang tidak guru kuasai. Maka tidak perlu menjawabnya dan mengingatkan bahwa hal itu hanya akan merugikan saja dan sama sekali tidak berguna. Pelarangan guru terhadap murid dari hal tersebut didasari rasa kasih sayang kepada muridnya, bukan karena guru pelit bagi-bagi ilmu. Bersamaan itu pula, guru mengajak murid agar bersungguh-sungguh dalam belajar dan menuntut ilmu supaya menguasai materi tersebut. Imam Bukhari berkata dalam Tafsir Rabbani, “Bahwa beliau (Rasulullah) mendidik orang banyak dengan ilmu yang kecil-kecil sebelum mengajarkan ilmu yang besar-besar”.

5.    Semangat dalam Mengajar

Guru harus bersemangat dalam mengajar dan menyampaikan pemahaman kepada murid dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Berusaha meringkas penjelasan tanpa berpanjang lebar dan terlalu dalam yang mengakibatkan pikiran murid tidak mampu menampung dan merekamnya. Menerangkan pada murid yang lambat pemikirannya dengan bahasa yang segamblang-gamblangnya dan bermurah hati untuk mengulangi keterangan. Guru seharusnya tidak enggan menyebutkan kata yang tidak pantas diucapkan menurut kebiasaannya, bila hal itu memang diperlukan, dan penjelasan yang ia berikan kurang sempurna bila tidak memakai kata tersebut. Tapi bila kata itu dapat dimengerti makna dan pengertiannya dapat diungkapkan secara jelas lewat kata kiasaan (kinayah), maka cukup menggunakan kiasan dan tidak usah menyebutkan kata aslinya secara langsung. Tatkala dalam majilis ada sebuah nama yang tidak pantas disebutkan, karena orang yang bersangkutan hadir sehingga bisa membuatnya malu, atau karena masalah yang dibicarakan sangat tersembunyi sifatnya, maka kata-kata yang dimaksud itu sebaiknya diungkapkan dengan kiasan saja. Karena banyaknya kata untuk mengungkapkan maksud dan tuntutan kondisi yang berbeda-beda, maka wajar bila dalam hadis terkadang memuat kata asli dan terkadang pula memakai kata kiasan. Bila guru selesai menerangkan pelajaran, boleh-boleh saja mengajukan beberapa pertanyaan kepada murid-murid untuk menguji pemahaman dan daya tangkap mereka terhadap apa yang telah disampaikan guru. Ucapkan terima kasih kepada murid yang tampak kuat pemahamannya sebab sering menjawab dengan benar. Sedangkan bagi murid belum paham, guru harus bersikap lembut dengan kesediannya mengulangi penjelasan. Malunya murid untuk mengatakan “tidak mengerti” mungkin karena takut membebani guru dalam mengulang keterangan, karena waktu yang terbatas, atau karena malu dengan teman-temannya. Bisa jadi juga karena murid takut menghambat proses pembelajaran yang diakibatkan oleh ketidakpahamannya. Oleh sebab itulah, tidak sepatutnya guru bertanya pada murid, “apakah kamu paham?”. Pertanyaan ini boleh dikemukakan, kalau guru yakin akan terhindar dari dari jawaban murid “ya paham”, padahal murid tidak mengerti. Apabila ada kekhawatiran begitu, entah karena malu atau lainnya, maka guru tidak usah menanyakan kepahaman kepada murid. Mungkin murid akan berbohong dengan mengatakan “ya paham” dengan beberapa alasan yang telah dijelaskan di atas. Sebaiknya langsung saja ajukan soal-soal kepada murid. Jika murid ditanya guru paham tidaknya suatu materi, lalu dia menjawab paham, maka guru tidak perlu melontarkan soal-soal lagi, kecuali bila murid memintanya, sebab mungkin murid akan malu bila ditanya setelah diberi soal-soal oleh guru murid tidak bisa menjawabnya. Seyogyanya guru menyuruh murid untuk melakukan kegiataan belajar bersama, dan menganjurkan untuk mengulang-ulang penjelasan setelah materi selesai secara berkelompok. Hal itu dengan tujuan agar ingatan mereka semakin kuat dan pemahaman mereka semakin kokoh. Selain itu, kjuga dikarenakan guru diminta untuk selalu mendorong murid-muridnya agar senantiasa berpikir dan menekan hawa nafsu dengan cara meminta mereka mematangkan ilmu.

6.    Meminta Murid untuk Mudzakarah dan Takrar

Guru sebaiknya meminta murid-muridnya menyediakan waktu untuk takror atau mengulang-ulang hapalan. Menguji kecermatan mereka dalam mengingat kaedah-kaedah yang rumit dan masalah-masalah yang langka yang telah dijelaskan. Mengetes mereka dengan berbagai masalah yang berpangkal pada satu hukum pokok yang telah ditetapkan atau bersandar pada satu dalil yang telah disebutkan sebelumnya.

Ucapkan terima kasih pada murid yang mampu menjawab dengan benar, bila hal itu tidak menimbulkan rasa sombong padanya. Serta memuji murid tersebut di depan teman-temannya agar menjadi motivasi bagi dia dan bagi teman-temannya yang lain untuk bersungguh-sungguh dalam menambah pengetahuan. Guru juga sebaiknya memberikan teguran tegas dan arahan keras kepada murid yang dianggap pemalas, jika guru tidak khawatir murid tersebut lari akan pentingnya motivasi yang tinggi dan kedudukan yang mulia dalam mencari ilmu. Lebih-lebih jika murid tersebut tipikal orang yang semakin bersemangat jika dikerasi dan semakin bertenaga jika diapresiasi.

7.    Menasihati Murid Agar Tidak Terlalu Keras dalam Belajar

Bila mana ada murid yang belajar sangat keras melebihi batas kemampuannya, atau masih dalam batas kemampuannya, akan tetapi guru takut hal itu akan membuat murid bosan, maka guru menasehati murid tersebut agar mengasihi dirinya sendiri dan mengingatkannya pada sabda Rasulullah saw bahwa binatang yang terlalu payah tidak akan bisa menempuh jarak sejengkal pun dan punggungnya tidak bisa menahan beban apapun. Guru membimbing murid agar perlahan-lahan dan bersikap biasa-biasa saja dalam kesungguhan belajarnya. Jika murid sudah kelihatan jenuh, bosan atau ada tanda-tanda mengarah ke sana, guru memerintahkan murid agar beristirahat dan mengurangi kesibukan. Tidak diperkenankan menganjurkan murid agar mempelajari sesuatu yang berada di luar tingkat pemahaman dan usianya. Tidak juga, menulis hal-hal yang pikiran murid belum mampu memahaminya. Jika guru dimintai saran oleh orang yang tidak dia ketahui tingkat pemahaman dan kemampuan menghapalnya, perihal mempelajari satu bidang ilmu atau buku tertentu, maka guru tidak perlu menyarankan sesuatu apapun sampai guru mengetes pikirannya dan mengetahui seperti apa kondisi dia sebenarnya. Apabila keadaannya tidak memungkinkan, maka sarankan dia untuk membaca referensi yang mudah dalam disiplin ilmu yang dia inginkan. Jika ternyata terlihat pikirannya mampu menangkap dan pemahamannya bagus, maka sarankan dia untuk pindah mempelajari buku yang sesuai dengan kemampuannya. Namun, jika keadaannya tidak seperti itu, maka jangan menyarankan apapun. Meminta murid untuk pindah mempelajari buku lain sesuai dengan tingkat pemikirannya, bisa menambah gairahnya dalam belajar. Sedangkan jika dia dipindah ke tingkatan buku yang tidak sesuai, maka bisa menurunkan semangat belajarnya. Tidak mungkin seorang murid untuk menekuni dua bidang ilmu atau lebih sekaligus, jika tidak mampu menguasainya dengan baik. Seharusnya dia mendahulukan ilmu yang lebih penting untuk dipelajari. Jika guru memiliki keyakinan atau dugaan kuat akan ketidaksuksesan murid dalam mempelajari suatu disiplin ilmu, maka sarankan dia agar meninggalkan ilmu itu dan beralih ke bidang lain yang diharapkan bisa berhasil dia kuasai.[3]

Dari hasil pengkajian terhadap teks kitab Tadzkirah al-Sâmi‟ wa alMutakallim fî Âdâb al-‟Âlim wa alMuta‟allim karya Ibn Jamâ‟ahdapat dideskripsikan pemikirannya tentang karakter guru dan murid (âdâb al-‟âlim wa al-muta‟allim) sebagai berikut: a. Adab Guru terhadap Diri Sendiri: 1) Murâqabah. 2) Sigap dalam menjaga adab kemuliaan ilmu sebagaimana para ulama salaf terdahulu; dengan menjadikan ilmunya sebagai hal yang mulia dan berharga. 3) Berperilaku asketis (zuhud), membiasakan diri hidup sederhana sesuai dengan kebutuhan hidup layak (KHL) dan selalu merasa berkecukupan (qanâ‟ah). 4) Memuliakan ilmu dengan tidak menjadikannya sebagai alat atau media untuk mencapai tujuan duniawi pragmatis. 5) Menghindarkan diri dari pekerjaan tercela atau tindakan yang kurang pantas, baik berdasarkan perspektif agama maupun menurut adat kebiasaan atau sesuai dengan adab masyarakat yang berlaku secara umum dan luas, termasuk terhadap hal yang dianggap makruh secara syar‟i. 6) Harus mampu mengaktualisasikan ajaran agama, spesifiknya yang berkaitan dengan amaliah lahiriah yang sangat tampak terlihat. 7) Selalu menjaga kontinuitas pelbagai amalan sunnah, baik yang terkait dengan perkataan maupun perbuatan. 8) Mendasarkan interaksinya (mu‟âmalah) kepada akhlak mulia. 9) Menjauhkan diri dan menyucikan jiwa dari berbagai akhlak buruk (akhlâq radîyyah) serta menghiasi dan menumbuhkembangkan beragam akhlak baik yang terpuji (akhlâq radiyyah) dalam dirinya, baik lahir maupun batin. 10) Secara kontinuitas berkewajiban untuk selalu menambah wawasan ilmu dan memperdalam cakrawala pengetahuannya sepanjang hidup. Beirut: Syirkah Dâr al-Basyâ„ir al-Islâmiyyah, 2021. 11) Tidak boleh merasa malu untuk mengambil faedah ilmu atau bahkan untuk belajar dari orang yang lebih yunior, baik dalam jabatan, genealogi keturunan atau dalam usia, termasuk bisa saja ia belajar dari para muridnya. 12) Memiliki perhatian untuk memiliki kemampuan dalam menulis, menyusun dan mengompilasi karya ilmiah sesuai dengan kompetensi (tamâm al-fadîlah) dan keahliannya (kamâl al-ahliyyah). b. Adab Guru terhadap Pelajaran: 1) Ketika hendak berangkat ke tempat mengajar (majlis al-tadrîs), menyucikan diri dari hadats (hadats) dan kotoran (khubts), membersihkan dan merapikan badan serta dengan elegan mengenakan pakaian paling bagus yang layak sesuai kultur yang berlaku. 2) Membaca doa keluar rumah. 3) Duduk pada posisi yang bisa dilihat oleh seluruh murid yang hadir dengan terlebih dahulu mengatur posisi duduk mereka secara proporsional. 4) Sebelum memulai pelajaran, sebaiknya membacakan beberapa ayat al-Qur„an agar mendapatkan keberkahandan berdoa untuk kebaikan diri sendiri, para murid dan seluruh kaum Muslimin. 5) Mendahulukan disiplin ilmu yang berstatus lebih mulia (asyraf) dan lebih urgen (ahamm). 6) Dapat mengatur nada dan intonasi suaranya ketika mengajar. 7) Menghindarkan majelis pelajarannya dari kegaduhan (laght). 8) Mampu mencegah berbagai pihak terutama dari internal para murid yang akan berbuat keji dalam debat, atau yang kebingungan dalam mengkaji, atau yang tidak baik dalam beradab (sû„ adab), atau yang tidak mampu bersikap adil setelah 38 Karakter (Adab) Guru kebenaran berhasil diungkap dalam perdebatan. 9) Senantiasa bersikap adil dalam memberikan pelajaran dan pembelajaran. 10) Memberi perhatian dan kasih sayang lebih kepada murid asing. 11) Ketika mengakhiri pelajaran hendaknya mengucapkan “wa Allah a‟lam” (hanya Allah yang lebih mengetahui). 12) Mengetahui kompetensi keahliannya sehingga ia tidak akan mengajar pada bidang keilmuan yang bukan menjadi spesialisasi keahliannya. c. Adab Guru terhadap Murid: 1) Mengajar dan mendidik harus diniatkan untuk mendapatkan keridhaan Allah, menyebarluaskan ilmu (nasyr al-‟ilm), menghidupkan atau membumikan syariat (ihyâ„ alsyar‟), mengimplementasikan kebenaran secara kontinuitas (dawâm zuhûr al-haqq), dan untuk meredam kebatilan (khumûl albâtil). 2) Walaupun murid memiliki niat yang tidak ikhlash (‟adam khulûsh alniyyah), tidak boleh berhenti atau menolak untuk mengajarinya. 3) Gapat memotivasi (targhîb) para muridnya tentang keutamaan ilmu dan kemuliaan proses pencariannya (talab) pada setiap waktu. 4) Mencintai muridnya dalam mendapatkan kebaikanatau hal positif seperti mencintai dirinya sendiri. 5) Menggunakan metode dan teknik penyampaian yang paling lugas dan mudah dipahami oleh murid. 6) Antusias (hirsh) dalam memberikan pembelajaran dengan selalu mempertimbangkan kemampuan daya serap muridnya. 7) Ketika telah selesai menjelaskan pelajaran, ada baiknya memberikan kesempatan kepada murid untuk bertanya dan mengadakan evaluasi (imtihân). 8) Mampu mengatur waktu untuk mengadakan evaluasi terhadap kekuatan hafalan murid secara kognitif. 9) Menasehati murid yang belajar secara berlebihan hingga melampaui batas kemampuannya dengan lemah lembut. 10) Mampu menjelaskan prinsipprinsip dasar ilmu dari setiap disiplin ilmu yang menjadi landasan atau kaidah bagi ilmu lainnya (qawâ‟id al-fann allatî tankharim) kepada para muridnya dan dapat menunjukkan kepada mereka referensi utama yang tersedia dalam kajian tersebut. 11) Tidak bersikap diskriminatif dengan memberikan perlakuan istimewa kepada sebagian murid. 12) Berkewajiban untuk dapat mengawasi dan memonitor adab, perilaku, dan akhlak murid, baik lahir maupun batin. 13) Hendaknya selalu berusaha untuk membantu murid. 14) Rendah hati dan lemah lembut[4]



[1] Asmawati Suhid, Pendidikan Akhlak dan Adab Isam Konsep dan Amalan, Kuala Lumpur: Taman shamelin Perkasa, 2009, hal. 13-14

[2] Al-Ghazali, Mutiara Ihya Ulumuddin, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008, hal. 36-37

[3] M. Abror Rosyidin, “7 Nasehat Mbah Hasyim tentang Adab Guru terhadap murid-Muridnya bagian 1” dalam https://tebuireng.online/7-nasihat-mbah-hasyim-tentang-adab-guru-kepada-murid-muridnya-bagian-1/. Diakses pada 22 September 2019.

[4] Rahendra Maya, “Karakter (Adab) Guru Dan Murid Perspektif Ibn Jamâ’ah Al-Syâfi’î, ”dalam Jurnal Edukasi Islami Jurnal Pendidikan Islam Vol. 06 No.12, Juli 2017, hal. 36-38

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tugas Pendidik dalam al-Qur’an

Karakteristik Pendidik dalam al-Qur’an